Pernahkah
kau berpikir tentang pasanganmu? Bahwa ia tidak seindah yang kau
harapkan dulu. Bahwa ia tak sebaik dalam bayanganmu dulu. Bahwa ia tak
sesempurna yang kau inginkan.
Atau pernahkah terlintas dalam benakmu, mengapa pasangan hidup kita sekarang adalah sosok yang sangat jauh dari harapan kita. Setelah menikah, kita baru mengetahui bahwa ia pemarah. Setelah menikah, kita baru sadar bahwa ternyata ia kurang sensitif terhadap perasaan kita. Setelah menikah, kita justru semakin banyak menemukan kekurangan pasangan, sehingga kekaguman yang dulu senantiasa hadir —dia aktivis sejati, dia hafidz, dia lemah lembut, dia penyabar— sekarang lenyap. Ternyata dia sangat jauh dari semua itu.
Lalu…pernahkah pikiran dan hati kita sampai pada tahap penyesalan. Kita menyesal menikah dengannya. Kalau bukan karena kesungkanan kita pada murabbi/murabbiyah yang mengenalkan dia pada kita, mungkin ingin rasanya kita berganti pasangan dengan yang lebih baik. (–na’udzubillah)
Siapapun orang yang kini menjadi pasangan hidup kita, ia adalah jodoh terbaik yang dipilihkan Allah untuk kita. Barangkali, kalau kita menikah dengan orang lain dan bukan dengan dirinya, kita justru akan menemukan kemudzaratan. Khusnudzan pada Allah. Suami/istri kita adalah belahan jiwa kita. Jika kita tercipta sebagai istri, maka keridhaan suami kita akan menjadi surga kita. Pun sebaliknya, kemurkaannya adalah neraka dan azab bagi kita. Dan jika kita tercipta sebagai suami, perlakuan kita kepada istri-istri kita akan menjadi pembuka keridhaan Allah. Bukankah Rasul pernah bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik sikapnya terhadap istri.”?
Pernikahan bukanlah ajang mencari kesempurnaan pasangan. Pernikahan adalah manajemen ketidaksempurnaan agar menjadi lebih indah dan barokah. Suami adalah pakaian bagi istrinya, dan istri adalah pakaian bagi suami.
Jangan sesali jodoh. Khusnudzan pada Allah adalah yang terbaik. Allah mempersatukan kita dengan dia adalah rahmat. Sebab di luar sana, masih banyak gadis dan perjaka yang belum bahkan tidak dikaruniai jodoh oleh Allah. Bersyukur, kita menjadi perempuan atau lelaki yang memiliki pasangan. Sebab di luar sana, masih banyak yang bahkan rela melakukan apa saja hanya untuk sekadar status pernikahan.
Insya Allah, suami atau istri kita adalah jalan kita ke surga. Dien kita sudah setengahnya sempurna. Jangan mengurangi kesempurnaan itu dengan sikap menyesali atau bahkan meratapi jodoh, yang itu berarti meratapi takdir Allah. Padahal, sebagai Muslim kita tentu paham, bahwa salah satu tanda-tanda orang bertaqwa ialah yang senantiasa yakin dengan kuasa Allah. Dan taqwa adalah kesempurnaan kita yang setengah lagi. Semoga dien kita selalu sempurna dengan kehadiran pasangan kita, dan ketaqwaan kita pada takdir-Nya.
Atau pernahkah terlintas dalam benakmu, mengapa pasangan hidup kita sekarang adalah sosok yang sangat jauh dari harapan kita. Setelah menikah, kita baru mengetahui bahwa ia pemarah. Setelah menikah, kita baru sadar bahwa ternyata ia kurang sensitif terhadap perasaan kita. Setelah menikah, kita justru semakin banyak menemukan kekurangan pasangan, sehingga kekaguman yang dulu senantiasa hadir —dia aktivis sejati, dia hafidz, dia lemah lembut, dia penyabar— sekarang lenyap. Ternyata dia sangat jauh dari semua itu.
Lalu…pernahkah pikiran dan hati kita sampai pada tahap penyesalan. Kita menyesal menikah dengannya. Kalau bukan karena kesungkanan kita pada murabbi/murabbiyah yang mengenalkan dia pada kita, mungkin ingin rasanya kita berganti pasangan dengan yang lebih baik. (–na’udzubillah)
Siapapun orang yang kini menjadi pasangan hidup kita, ia adalah jodoh terbaik yang dipilihkan Allah untuk kita. Barangkali, kalau kita menikah dengan orang lain dan bukan dengan dirinya, kita justru akan menemukan kemudzaratan. Khusnudzan pada Allah. Suami/istri kita adalah belahan jiwa kita. Jika kita tercipta sebagai istri, maka keridhaan suami kita akan menjadi surga kita. Pun sebaliknya, kemurkaannya adalah neraka dan azab bagi kita. Dan jika kita tercipta sebagai suami, perlakuan kita kepada istri-istri kita akan menjadi pembuka keridhaan Allah. Bukankah Rasul pernah bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik sikapnya terhadap istri.”?
Pernikahan bukanlah ajang mencari kesempurnaan pasangan. Pernikahan adalah manajemen ketidaksempurnaan agar menjadi lebih indah dan barokah. Suami adalah pakaian bagi istrinya, dan istri adalah pakaian bagi suami.
Jangan sesali jodoh. Khusnudzan pada Allah adalah yang terbaik. Allah mempersatukan kita dengan dia adalah rahmat. Sebab di luar sana, masih banyak gadis dan perjaka yang belum bahkan tidak dikaruniai jodoh oleh Allah. Bersyukur, kita menjadi perempuan atau lelaki yang memiliki pasangan. Sebab di luar sana, masih banyak yang bahkan rela melakukan apa saja hanya untuk sekadar status pernikahan.
Insya Allah, suami atau istri kita adalah jalan kita ke surga. Dien kita sudah setengahnya sempurna. Jangan mengurangi kesempurnaan itu dengan sikap menyesali atau bahkan meratapi jodoh, yang itu berarti meratapi takdir Allah. Padahal, sebagai Muslim kita tentu paham, bahwa salah satu tanda-tanda orang bertaqwa ialah yang senantiasa yakin dengan kuasa Allah. Dan taqwa adalah kesempurnaan kita yang setengah lagi. Semoga dien kita selalu sempurna dengan kehadiran pasangan kita, dan ketaqwaan kita pada takdir-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar